Friday, March 31, 2017

Bosan..!

By Mulyadi Irawan

Source: lemonde-apres.com
Pagi ini saat saya membuka Facebook saya, salah satu teman kerja saya dulu meng-update statusnya di Facebook dengan isi "Bosan...". Saat melihat status tersebut saya berpikir sejenak, "tumbenan dia bisa bosan, dulu saat masih sekantor dia selalu aktif kerja, tersenyum, dan easy going.". Karena sudah lama tidak berbincang dengannya saya memutuskan untuk mengirimkan pesan melalui Facebook untuknya, sekedar menanyakan kabar saja. Kita berbincang sejenak lalu tidak lama kita memutuskan untuk bertemu langsung. Berbincang-bincang secara langsung dan tertawa secara langsung memang lebih menyenangkan daripada melalui pesan di Facebook. 

Saat bertemu dan berbincang-bincang dengannya, ia menyampaikan bahwa ia bosan sekali dengan pekerjaannya kini. Bekerja terasa seperti rutinitas yang melelahkan dan menyita waktu. Mulai dari bangun pagi, mandi, sarapan, bekerja, istirahat, pulang, tidur, dan mengulangginya lagi keesokan harinya. Mendengarnya saja sudah membuat saya merasa bosan. Setiap hari ia datang ke kantor untuk hanya untuk memberikan tanda tangan diberbagai dokumen yang sudah sangat rapi dibuat oleh rekan-rekan kerjanya. Ia bercerita rasanya sangat berbeda ketika saat kita masih bekerja bersama dulu, ia berkata bahwa saat dulu, setiap hari kita berhadapan dengan masalah, bertemu orang lain, bertemu dengan klien dan rekan sejawat, menjadi dorongan yang kuat dan tantangan untuk mencapai hal baru setiap harinya. Tapi kini dengan jabatannya yang sudah tinggi, dan sistem perusahaan yang sudah berjalan dengan stabil baginya pergi ke kantor menjadi sangat membosankan. Ia berkata rasanya ingin resign dan mencari pekerjaan lain.

Saya paham dengan rasa bosan yang dirasakannya, tapi saya tidak mendukung keputusannya untuk resign. Ia pun bertanya "kenapa jangan resign dulu Mul?". Saya menjawab "Loh? Katanya bosan tidak ada masalah atau tantangan. Sekarang ada masalah, kok kamu malah mau lari dari masalah itu?". Ia terdiam dan terlihat bingung. "benar juga ya, kok aku malah engak sadar kalau lagi ada masalah yang menatang begini.". Tidak lama ia tertawa dan kami melanjutkan pembicaraan-pembicaraan lainnya.

Jika setiap hari kalian melakukan sesuatu sebagai sebuah rutinitas. Saya percaya cepat atau lambat kita akan menjadi orang paling bosan di dunia. Untuk itulah perlu adanya variasi dalam kehidupan. Dan variasi-variasi tersebut sering muncul sebagai 'tantangan' ataumasalahdi dalam hidup kita. Ketika masalah dan tantangan tersebut berhasil kita atasi, kita juga menjadi bersemangat ketika setiap persoalanataumasalahitu berakhir dengan sukacita dan pelajaran yang membuat kita semakin dewasa dalam menghadapi kehidupan. Saat itu terjadi kalian akan melihat betapa luar biasa rencana Tuhan dalam kehidupan kita!

Ingatlah juga untuk menghadapi masalahmu bersama Tuhan, karena Ia-lah sumber kekuatan dan pengharapan kita!

Mazmur 28: 7 - 8 ~ TUHAN adalah kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya hatiku percaya. Aku tertolong sebab itu beria-ria  hatiku, dan dengan nyanyianku aku bersyukur kepada-Nya. TUHAN adalah kekuatan umat-Nya dan benteng keselamatan   bagi orang yang diurapi-Nya!

Salam Damai!
Tuhan memberkati kita selalu! :)

Wednesday, March 22, 2017

Lemari Hati

By Mulyadi Irawan

Beberapa waktu lalu, istri saya mendadak mengajak saya untuk merapihkan lemari pakaian keluarga. Ia berkata bahwa lemari ini sudah penuh sesak, saya terdiam sejenak dan memperhatikan lemari pakaian tersebut yang masih tertutup. Saya berpikir bagaimana lemari sebesar ini bisa penuh sesak? Rasanya masih banyak ruang di lemari ini. Ketika saya membuka dan memperhatikan secara seksama, memang masih banyak ruang di lemari ini. Saya bertanya kepada istri saya, "Mami, ini lemari masih banyak space. Kok udah mau di rapihin aja?". Istri saya menjawab, "Iya Pi, space masih banyak tapi kalau yang lama-lama dan udah engak bisa dipakai. Mau ngapain disimpan dilemari?". Hmmm... betul juga.

Kami mulai merapihkan pakaian kami satu per-satu. Ada baju pesta yang sudah lama tidak digunakan, ada celana dan baju yang tidak muat lagi untuk dipakai, ada pakaian yang sudah sangat longgar dan berlubang, ada pakaian baru yang dibeli namun tidak pernah terpakai, dan masih banyak lagi. Setelah selesai membongkar lemari dan merapihkan pakaian tersebut, saya baru menyadari ternyata selama ini lemari besar ini terisi dengan penuh sekali. Pakaian-pakaian yang dikeluarkan dari lemari ternyata memenuhi 4 dus besar. Kami memutuskan untuk menyumbangkan sebagian besar pakaian-pakaian yang masih layak digunakan.

Hidup kita juga seperti lemari besar tersebut. Terkadang kita tidak sadar bahwa kita terlalu banyak menyimpan hal-hal yang belum tentu berguna di hati kita dan tanpa disadari hal-hal tersebut membuat hati kita terasa sesak. 

(Source: http://narnia.wikia.com/wiki/Wardrobe)
Ayo mulai rapihkan lemari hati kita!
Merenunglah sejenak dan melihat ke hati kita sendiri. Adakah pengalaman-pengalaman buruk yang belum dapat kita syukuri dan terima?
Adakah pengalaman yang masih menghambat kita untuk maju? Dan, sudahkah kita memaafkan diri kita sendiri dan orang-orang tersebut atas kejadian tersebut? Percayalah dengan merapihkan lemari hati kita, kita memberikan ruang bagi diri kita untuk menerima pengalaman-pengalaman baru yang dapat menjadi bahan pelajaran kita untuk terus maju.
Biarlah Tuhan membantu kita untuk merapihkan lemari hati kita, agar kita dapat merapihkan hati kita dengan kebijaksanaan. Biarlah Tuhan berkarya dan menjadikan segala isi lemari hati kita berguna bagi diri kita sendiri dan orang banyak.

Salam damai!
Tuhan menyertai kita semua. Amin!

Wednesday, March 15, 2017

Tunggu dulu

By Mulyadi Irawan

Kalau mendengar kata "Tunggu dulu" rasanya saya malah semakin tidak sabar.
Pada dasaranya saya memang bukan orang yang sabar dan dapat menunggu dengan tenang. Namun, bertambahnya usia dan pengalaman mengajarkan saya bahwa menunggu dan bersabar selalu berbuah manis.

Buat teman-teman yang pernah sering melakukan perawatan mobil, teman-teman pasti tahu rasanya menunggu di bengkel atau tempat cuci mobil. Bosan sekali bukan? Hanya duduk atau berjalan di daerah sekitar saja, beruntung jika orang-orang yang sedang bekerja dapat diajak berbicara atau mengobrol bersama. Dan semakin jarang kita membersihkan atau melakukan "service", semakin lama juga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya.

Di Rumah Damai, kami tidak hanya melayani pecandu-pecandu yang baru saja mengalami adiksi. Banyak dari mereka mengalami adiksi selama puluhan ataupun belasan tahun. Semua orang yang mengalami adiksi dan sedang direhabilitasi pasti ingin segera kembali berkarya dan lepas dari adiksi. Banyak dari mereka tidak mau direhabilitasi dengan alasan waktu. Sama seperti ketika kita membawa mobil kita ke bengkel, jika kita hanya memikirkan waktu yang terbuang maka mobil tersebut akan rusak karena tidak pernah di service.

(Source: theoccasionalnomad.wordpress.com)
Begitu jugalah ketika kita menghindari masalah atau tidak ingin menghadapi masalah karena alasan waktu ataupun suatu alasan lainnya, maka masalah tersebut akan semakin besar dan membutuhkan lebih banyak lagi usaha dan waktu dalam menyelesaikannya. Melalui Rumah Damai, Tuhan mengajarkan saya untuk menyadari bahwa untuk segala sesuatu yang bersifat kekal dan ilahi, waktu adalah salah satu harga yang harus dibayar. Waktu untuk menerima perubahan dan hidup baru, waktu untuk Tuhan berkarya dalam diri kita, waktu untuk menumbuhkan karakter kita yang baru, dan waktu untuk berbagai hal positif lainnya.
Pilihan ada pada diri kita masing-masing. Waktu pasti akan berlalu namun yang terpenting adalah apa yang kita lakukan selama waktu dan karya Tuhan tersebut berjalan dalam hidup kita.Apakah kita menghabiskannya dengan menaruh iman, pengharapan, dan berusaha untuk menghadapi masalah tersebut ? Atau kita  menghabiskannya hanya dengan berpangku tangan saja dan menunggu?

Salam Damai, Tuhan memberkati kita semua selamanya.
Amin!

Friday, March 10, 2017

Transformasi dalam Nama

By Muljadi Irawan

Saya mempunyai cerita yang menarik, cerita yang sering saya ceritakan kepada beberapa teman-teman atau anak-anak saya ketika mereka dihina oleh orang lain. Cerita sederhana ini mungkin bisa menginspirasi teman-teman juga.

Saat saya masih aktif bekerja di Jakarta, saya cukup dekat dengan seorang security bernama Efrizon. Teman-teman suka memanggilnya O'on, bukan karena dia adalah seorang yang o'on (atau bodoh) tapi hanya karena panggilan tersebut memudahkan orang-orang untuk memanggilnya. Saat krisis moneter terjadi, perusahaan kami menjadi salah satu perusahaan yang mengalami dampak cukup besar. Perusahaan mengalami penyusutan, beberapa karyawan harus di PHK secara sepihak agar perusahaan tetap dapat berjalan. O'on menjadi salah satu orang di PHK, ia sempat berpamitan kepada saya. Wajahnya tampak sedih, tapi ia berkata semua akan baik-baik saja dan ia akan membuka usaha sendiri.

Tidak lama setelah itu, ia mulai berjualan sepatu di daerah Tanah Abang. Saya sempat berkunjung dan membeli sepatu untuk membantunya. Namun, tidak lama setelah saya membeli sepatu tersebut. O'on menelepon saya dan mengucapkan perpisahan sekali lagi karena ternyata usahanya di Tanah Abang tidak berhasil dan ia ingin kembali ke tanah kelahirannya yaitu Padang.

Setelah beberapa tahun tidak bertemu dan tidak ada kabar. Saat saya sedang mengurus kantor cabang tempat saya bekerja, ada seseorang yang memanggil saya. "Pak Mul!", "Pak Mul!". Ketika saya melihat ke arah suara tersebut ternyata O'on yang memanggil saya, tidak dengan seragam security atau kaus oblong tapi dengan setelan kemeja rapih. "Wah O'on, gimana kabar kamu sekarang?", saya sangat terkejut melihat penampilannya yang baru. "Pak Mul! Kenalan dulu kita, saya bukan O'on, nama saya Jaya!". Ternyata nama barunya lebih membuat saya terkejut daripada penampilan barunya.

Kami-pun memutuskan untuk berbincang-bincang sebentar sebelum kembali ke kesibukan masing-masing. Ia bercerita pengalamannya saat ia mengalami kegagalan dan harus kembali ke Padang. Ia merenung selama beberapa hari dan ia menyadari bahwa setiap orang sukses yang ia kenal memiliki kesamaan yaitu masing-masing dari mereka memiliki nama "Wijaya". Sejak saat itu ia memutuskan menganti namanya menjadi "Wijaya", dan saat ada orang yang memanggilnya O'on. Ia mengenalkan kembali dirinya dengan nama Wijaya atau Jaya dan ia selalu berkata Saya Jaya dan hidup saya akan berjaya". 

Tidak lama setelah menganti namanya. Salah satu kerabat menawarkan Jaya untuk bekerja di perusahaan mebel miliknya. Jaya-pun tidak berpikir panjang dan langsung bekerja. Disana Jaya terus belajar dan berusaha, ia-pun memulainya dari titik terendah yaitu sebagai buruh pabrik, Jaya perlahan-lahan belajar dan terus naik dan mendapatkan kepercayaan untuk mengurus bagian produksi, tidak hanya puas dengan tanggung jawab dan prestasi tersebut. Jaya tetap berusaha untuk mencapai hal yang lebih besar, Jaya berhasil membuka sendiri cabang perusahaan di Jakarta dan perusahaan saya ternyata menjadi salah satu mitra bisnisnya.

Tidak hanya puas menjadi kepala cabang Jakarta, ia juga memberikan umroh kepada setiap karyawannya jika perusahaannya mendapatkan proyek besar. Ia sudah mengantarkan lebih dari 20 karyawannya untuk naik haji. Menariknya adalah ia sendiri belum naik haji. Ia berkata bahwa banyak kesempatan bagi dia untuk naik haji, tapi tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama contohnya karyawan-karyawannya. Jaya tidak menikmati kesuksesannya sendiri, ia menikmatinya bersama orang-orang disekitarnya yang membantunya mencapai kesuksesan tersebut.

Dari cerita ini kita belajar satu hal yaitu: Iman.
Di dalam Bilangan 14:28: "...seperti yang kamu katakan di hadapan-Ku, demikianlah akan Kulakukan kepadamu." Terkadang kita lupa bahwa nama kita, panggilan kita, ucapan kita adalah iman dan doa kita kepada Tuhan. Jika kita memberikan "diskon" kepada diri kita sendiri, maka kita mengecilkan rencana Tuhan yang besar kepada diri kita. Ingatlah, Tuhan menjadikan kita kepala bukan ekor. Rencananya besar bagi kita semua, tapi apakah iman kita cukup besar untuk menerima rencana tersebut?

Salam Damai!
Tuhan memberkati kita semua.

Friday, March 3, 2017

Salah tempat

By Mulyadi Irawan

Diawal tahun 2017 ini, saya dan istri saya sering sekali pergi ke Jakarta untuk membantu Sammy dan temannya di restoran yang baru saja mereka buka dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anak saya. Perjalanan Semarang - Jakarta yang jauh, lama-kelamaan menjadi terasa dekat. Kunjungan saya ke Jakarta diawal tahun ini terasa lebih santai dibandingkan biasanya saat saya menjadi pembicara sehingga saya mempunyai banyak waktu untuk bertemu alumni-alumni Rumah Damai, mentor-mentor Rumah Damai terdahulu, rekan kerja, dan teman-teman saya.

Beberapa minggu yang lalu, saya berkumpul bersama teman-teman saya di restoran Sammy, sembari promosi dan membantu Sammy berjualan. Saya juga senang ternyata teman-teman menyukai bakmi karet yang disajikan Sammy, banyak teman-teman yang memesan untuk keluarga ataupun rekan-rekan kerja mereka. Salah satu teman dan rekan kerja saya memberikan undangan pernikahan, ternyata anak sulungnya akan menikah di akhir bulan Januari. Kebetulan saya memang berencana untuk menghabiskan imlek bersama keluarga di Jakarta, jadi saya pikir saya bisa menghadiri undangan tersebut secara langsung.

Sebelum hari pernikahan tersebut, rekan kerja saya menelepon saya untuk mengkonfirmasi kembali kehadiran saya. Ia juga berkata santai saja karena hanya acara pernikahan biasa tidak terlalu formal. Keesokannya di hari acara pernikahan saya datang dengan setelan santai, mengenakan T-shirt dan celana jeans, saat di parkiran saya sudah merasa ada sedikit keanehan. Saya memperhatikan beberapa orang disekitar saya mengenakan setelan formal lengkap dengan jas dan dasi, sejenak memperhatikan sekitar saya berpikir mungkin di gedung ini ada acara formal lainnya yang diadakan. Lalu saya bergegas naik lift saat sampai di tempat resepsi pernikahan ternyata orang-orang yang saya perhatikan sebelumnya adalah tamu acara resepsi juga.

Saya memperhatikan kembali orang-orang disekitar saya, semuanya mengenakan pakaian formal minimal kemeja dengan celana bahan hanya saya yang mengenakan T-shirt dan jeans. Saat ingin mengambil makanan dan minuman, bahkan pelayan yang menghindangkan juga mengenakan jas lengkap dengan dasinya. Saya merasa tidak nyaman, seperti banyak orang-orang yang memperhatikan saya. Makanan yang enakpun menjadi terasa tidak enak, akhirnya saya segera pamit dengan teman saya dan keluarganya. Perasaan saya menjadi sangat lega sekali setelah saya keluar dari acara dan dari gedung tersebut, saya-pun bergegas pulang. Karena tidak makan terlalu banyak saat acara, saya berpikir untuk mencari makanan didekat apartemen saya. Saya memutuskan untuk membeli nasi goreng tektek.

Saat saya menikmati nasi goreng tektek, saya menyadari sesuatu bahwa setiap orang memiliki "tempat"nya masing-masing dan ketika kita duduk  atau berada di "tempat" yang kurang tepat rasanya kita menjadi risih dan tidak nyaman dan terkadang rasanya apapun yang kita lakukan menjadi suatu kesalahan. 

"Tempat" tersebut terkadang adalah pergaulan atau lingkungan sekitar kita. Jika mengingat latar belakang anak-anak saya di Rumah Damai, banyak sekali cerita mengenai pergaulan-pergaulan mereka sebelum mereka berada di Rumah Damai. Saya menyadari bahwa anak-anak ini pada dasarnya adalah anak-anak yang mengalami masalah dan ingin menyelesaikan masalahnya, tapi sayang sekali mereka mencari jawaban dari orang yang salah dan mendapatkan jawaban yang salah yaitu obat-obatan terlarang.

Seperti firman Tuhan dalam 1 Korintus 15:33 berisi "Janganlah kamu sesat; pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik". Firman Tuhan meningatkan kita terkadang kita tidak menyadari kita berada di pergaulan yang salah karena kita sudah terbiasa, padahal saat kita berada di "tempat" tersebut kita perlahan-lahan semakin menjauh dari Tuhan. Untuk itu kita harus menyadari dimana kita berada sekarang, jika pergaulan yang ada di sekitar kita membuat kita menjauh dari Tuhan, "tempat" tersebut bukanlah "tempat" untuk kita. Karena pergaulan yang baik akan mendekatkan kita kepada Tuhan dan menjauhkan kita dari hal-hal buruk.

Salam damai, Tuhan berserta kita semua
Amin!